Cerpen: Ironi Kartidjo (1)
Setengah
mengeluh, Kartidjo tetap bekerja menghitung surat suara. Sebentar
dilongoknya arsip dan berkas-berkas dari kabupaten. Satu persatu, tangannya
yang mulai merenta, membolak-balik data nama pemilih. Kacamatanya yang berbingkai
hitam tebal, menambah kesan ketuaan.
“Ini
kopinya, Pak!” Salimah menyodorkan segelas kopi pahit kesukaannya. “Taruh saja
di situ, Bune!” Jawab Kartidjo tanpa
menoleh.
“Karmin
ke mana, Bune?”
“Ada
apa, Pak!” Karmin tiba-tiba menyahut dari balik pintu sambil menenteng sepatu
bututnya. “Lho, sepatumu kok dicangking,
le?”
“Kecebur sawah, Pak. Tadi jalan di
tegalan licin. Teruus...”
“Ya,
sudah. Banyak alasan. Nanti setelah kamu mandi, kamu pasang spanduk pilihan
gubernur ini di balai desa!” kata Kartidjo.
Mendengar
permintaan bapaknya, Karmin hanya mengangguk. Karmin tahu, perintah bapaknya
adalah harga mati, tak mungkin ditolak. Meskipun niat semula Karmin ingin
bermain sepak bola di lapangan desa, tapi Karmin segera mengurungkan niatnya.
**
Beberapa
pekan ini, kesibukan Kartidjo bertambah. Sebagai panitia pemilihan gubernur
Jawa Tengah atau KPPS, Kartidjo harus meluangkan waktu untuk rapat ini rapat
itu. Sepertinya, Kartidjo sudah kembali bergairah.
Jauh
sebelum itu, sejak kekalahannya dari pilihan kepala desa, Kartidjo lebih suka
berdiam diri. Atau menyibukkan diri dengan tugas-tugasnya di sekolah.
Maklumlah, Kartidjo harus menelan kepahitan berlipat. Tidak menang dalam
pilkades, jatuh pula dalam jeratan hutang yang menumpuk.
Tapi
sekarang, sepertinya Kartidjo berniat mengambil kesempatan. Setelah dipercaya
sebagai ketua KPPS, ia kembali rajin berkegiatan di desa. Kartidjo tahu,
pilkades berlangsung sebentar lagi.
“Untuk
apa mencalonkan diri lagi, Pak! Mbok sudah.
Kalau sudah kalah ya diterima. Lha wong sekarang
saja hutang kita masih banyak. Mau dibayar pake apa lagi hutang-hutang kita
ini, Pak?” kata Salimah, bermaksud mencegah keinginan suaminya menyalonkan
kades lagi.
“Bune. Percaya saja sama yang Di Atas.
Kalau niat kita luhur mulia, Gusti
pasti mbantu kita!” jawab Kartidjo
tetap bersikukuh.
“Aku
percaya, Pak. Tapi ya kalau kita sendiri gak sadar diri, itu namanya ngoyo, memaksa diri. Bayaran sekolah
Tiwi di Madrasah saja, masih sering nunggak!” Salimah masih mencecar tanpa
bermaksud menyudutkan.
“Kepentingan
bapak jauh lebih penting, Bune!”
jawab Kartidjo setengah menaikkan nada bicaranya. “Selama ini kita tahu, Bune. Belum ada kepala desa yang becus ngurus desa Kalegok sini. Semuanya pasti
mandeg di tengah jalan. Kapan bisa
maju desa kita ini, Bu!” Kartijo meninggikan suaranya.
“Iya,
Pak. Saya tahu. Pendidikan bapak tinggi. Bapak juga pinter. Tapi, mbokya o bapak
sadar, warga desa tidak semuanya setuju kalau bapak jadi kades. Mereka
penginnya bapak jadi ketua RT saja,” Salimah tak henti-hentinya mengingatkan.
Jauh
di dalam hatinya, Salimah sebenarnya ikut merasakan kebanggaan luar biasa jika
suaminya menjadi kades. Setidaknya, ia akan dipanggil Bu Kades, dan bukan Bu Jo
alias Bu Kartidjo. Terbayang di benaknya, Salimah dengan gagahnya memberi sambutan
saat rapat PKK.
“Ibu-ibu.
Mulai sekarang kita harus memerhatikan kesehatan keluarga. Terutama ibu-ibu
muda yang lagi hamil ini. Pastikan kalau anak-anak ibu, mendapatkan ASI yang
cukup. Sebab, ASI inilah gizi terbaik untuk anak-anak kita dibandingkan dengan
susu buatan pabrik...”
“Lha
kok senyam-senyum dhewe to, Bune? Ada
yang lucu, ya?” tanya Kartidjo keheranan. “Eh, enggak. Nggak ada, Pak!
Pokoknya, saya masih nggak setuju kalau bapak nyalon lagi. Titik!”
“Lho.
Lho. Bentar Bune. Jangan emosi dulu.
Coba bayangkan nikmatnya jadi kades, Bune.
Yang merasakan tidak hanya kamu dan anak-anak kita. Tapi, cucu-cucu kita nanti
juga akan mengenang kita sebagai tokoh masyarakat. Saudara, kerabat, dan
keluarga besar Kartidjo Dwijoprawiro juga akan merasa bangga bila ada salah
satu trahnya yang jadi kades, Bune!” Kartidjo berusaha meyakinkan Salimah,
istrinya.
..... to be continued
Komentar
Posting Komentar