MERAJUT PERTIWI (YANG TERKOYAK)


Sebuah cahaya menyorot  pada sosok perempuan; Ayu Dyah Pasha mulai lantang bermonolog, mengawali cerita:



Melalui masa lalu, kami berada di sini
Kami berjuang berdamai dengan masa lalu
Kami berjuang bersama, merajut masa depan yang lebih baik

Dalam suara lembut namun kuat, Ayu menegaskan bahwa kisah (nyata) para pelakon adalah kisah pendamaian masa lalu. Lalu dengan penuh keyakinan, mereka berjuang bersama, merajut masa depan yang lebih baik.


Drama musikal, yang dipentaskan pada 10 Februari 2018 ini, berisi lima kisah dengan latar belakang berbeda. Kisah pertama, bercerita tentang Uli yang menderita karena ayah dan kakaknya yang tidak peduli padanya.


Kisah kedua adalah kisah pilu Irma yang sejak lama tidak berjumpa dengan ayahnya.

Kisah ketiga bercerita tentang seorang gadis remaja, Grace, yang berupaya menyenangkan ibunya di tengah kemelut keluarga.






Berlanjut ke kisah keempat, kisah kejenakaan Desi bersama ayahnya yang membayangkan indahnya kehidupan Jakarta.

Dan, terakhir kisah kelima bertutur tentang anak kecil bernama Maria yang disia-siakan oleh sanak saudaranya sepeninggal kematian orangtuanya.

Adegan demi adegan berlangsung menegangkan, sesekali muncul kejenakaan anak-anak yang bermain Sanggu Alu, dan riang ria bermain. 



Drama musikal garapan Roland Wiryawan ini tampak berniat sungguh menampilkan ke-Indonesia-an dalam beragam budaya, sekaligus adanya keinginan kuat untuk membongkar “ikatan masa lalu” yang penuh derita menjadi bangunan baru anak-anak yang penuh harapan. Ditambah dengan garapan koreo oleh Nathania Alvita yang sangat apik dan profesional, menjadikan drama ini sebagai seni yang utuh. Tentu saja, sentuhan vocal coach Helena Sophy pun turut menyempurnakan musikalitas anak-anak dalam suara yang lantang dan ekspresif. 


***

Sebagai penonton, tentu saya sedikit berharap pentas drama musikal ini bakal dominan dipenuhi keceriaan dan kejenakaan anak-anak. Karena ini pentas anak-anak. Anak-anak dekat dengan wajah kepolosan dan keceriaan. Namun, tampaknya hasrat untuk menampilkan keaslian kisah para tokoh utama menjadi pilihan pementasan. 

Mungkin lebih bijaksana, apabila beberapa adegan kekerasan dan kata-kata dewasa yang terlontar vulgar dikurangi atau bahkan dihilangkan. Adegan-adegan tersebut bisa diganti dengan cara dinarasikan oleh narator, dan bila perlu dapat dibantu dengan gambar-gambar siluet untuk memperkuat cerita.

Hal lain yang menjadi catatan adalah cukup banyaknya gap waktu di setiap pergantian adegan. Lima setting / latar yang ditampilkan memang cukup menyulitkan tidak terjadinya time gap ini. Maka, penggunaan cara mematikan lampu untuk mempersiapkan setting berikutnya merupakan cara paling tepat yang bisa digunakan.

Namun, ada pilihan lain yang bisa dipakai, misalnya dengan menggunakan narator. Narator bukan saja menarasi satu dua adegan, tetapi menjadi jembatan agar setiap alur tersambung dengan rapi. Narator inilah yang merangkai tiap adegan yang meski terpisah menjadi seolah satu kesatuan.

***


Merajut Pertiwi (Yang Terkoyak) merupakan landskap Indonesia yang masih berjuang untuk me-revolusi mental. Melalui pentas ini, anak-anak Yayasan Prima Unggul berinisiatif hadir sebagai perajut. Mereka menyadari bahwa kisah-kisah pilu pada masa kecil mereka adalah salah satu fakta kehidupan yang harus disyukuri sekaligus dimaknai.

Pesan penting yang tersirat sungguhlah dahsyat. Di saat kemanusiaan dan persatuan di bumi pertiwi dikoyak-koyak tanpa ampun, pentas drama ini menawarkan optimisme. Saat orang sibuk dengan kepentingan diri merebut jabatan dan kuasa, pentas drama ini menghempaskannya dalam semangat berjuang bersama. 

Maka, hadirnya para tokoh agama yang merangkum pementasan (di akhir acara) dalam persaudaraan, menjadi simbol kuat bahwa tak ada satupun kekuatan bisa mengoyak pertiwi.


Akhirnya, Selamat Ulang Tahun Yayasan Prima Unggul yang ke-7. Terus berjuang merajut pertiwi, kini dan nanti.



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beragam Itu Keren