Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

ROBOHNYA PANGGUNG KARYO

Sebuah Cerpen Bagi Karyo, pantang berdebat dengan Salmah, istrinya. Apalagi perihal remeh temeh menyangkut urusan dapur. Bukan karena tak sepaham. Tetapi, bagi Karyo, Salmah lebih paham urusan belakang. Namun, tentang satu hal ini, Karyo merasa perlu tak bisa lagi berdiam diri.   “Sudahlah.  Bune  tidak usah  cawe-cawe!  Semuanya sudah diatur!” “Diatur bagaimana pak. Hutang kita masih banyak! Lha kalau bapak  nyalon kades  lagi, terus hutang-hutang itu mau dibayar pake apa: Pasir?! Daun?!” sahut Salmah kesal. “ Bune  percaya saja sama bapak-bapak di atas. Mereka yang urus semua.” “Aku cuma percaya pada Gusti Allah, pak!” “Bukan begitu, bu. Pengalaman pahit pilihan kades periode yang lalu, membuat bapak belajar. Sekarang bapak harus bisa lobi anu, pejabat ini, pejabat itu, termasuk para tokoh masyarakat, mulai dari tetua desa, para ulama, kelompok-kelompok pengajian dan lain-lain. Termasuk, yang tidak kalah penting adalah mohon doa restu mbah Larik, yang bisa  back up 

MERAJUT PERTIWI (YANG TERKOYAK)

Gambar
Sebuah cahaya menyorot  pada sosok perempuan;  Ayu Dyah Pasha  mulai lantang bermonolog, mengawali  cerita: … Melalui masa lalu, kami berada di sini Kami berjuang berdamai dengan masa lalu Kami berjuang bersama, merajut masa depan yang lebih baik Dalam suara lembut namun kuat, Ayu menegaskan bahwa kisah (nyata) para pelakon adalah kisah pendamaian masa lalu. Lalu dengan penuh keyakinan, mereka berjuang bersama, merajut masa depan yang lebih baik. Drama musikal, yang dipentaskan pada 10 Februari 2018 ini, berisi lima kisah dengan latar belakang berbeda. Kisah pertama , bercerita tentang Uli yang menderita karena ayah dan kakaknya yang tidak peduli padanya. Kisah kedua adalah kisah pilu Irma yang sejak lama tidak berjumpa dengan ayahnya. Kisah ketiga bercerita tentang seorang gadis remaja, Grace, yang berupaya menyenangkan ibunya di tengah kemelut keluarga. Berlanjut ke kisah keempat , kisah kejenakaan Desi bersama ayahnya yang membay

Cerpen: Ironi Kartidjo (3)

... Setelah kekalahannya, Kartidjo kembali ber-“sekolah”. Teman-teman sejawatnya memakluminya, bila berhari-hari Kartidjo tidak berdinas. Ya, Kartidjo memang bukan lagi guru biasa. Sejak 10 tahun yang lalu, Kartidjo diangkat menjadi kepala sekolah. Itu diperolehnya setelah ia mendapatkan ijazah sarjana pendidikan di IKIP Semarang. Dan, kini menjelang pilkades berikutnya, Kartidjo makin membulatkan tekad. Seperti hendak mempraktikkan ilmu politiknya dulu, Kartidjo pun mulai bergerilya. Hampir tiap malam, Kartidjo menyambangi warga. Pada saat pertemuan-pertemuan RW, Kartidjo juga hadir. Ia pun mengumbar jiwa sosialnya. “Bapak Ibu sekaliyan. Dengan keprihatinan mendalam dan dengan ketulusan hati, saya akan menanggung semua biaya pembangunan rumah Mbah Salim!” Sambutan Kartidjo disambut meriah. Mbak Salim, yang sudah hidup sebatang kara, ikut tersenyum. “Terima kasih, mas Kartidjo, yang sudi berbaik hati membangun gubug reot saya. Gusti ora sare, nak Mas!” ucap Mbak Salim berbinar.

Cerpen: Ironi Kartidjo (2)

.... Salimah terdiam. Sepenuhnya Salimah setuju dengan kata-kata suaminya. Terkadang, kehormatan keluarga harus diletakkan dalam kedudukan atau jabatan. Setidaknya, seluruh keturunan akan mengenangnya sebagai orang besar. Salimah bimbang. Hutang karena kalah dalam pencalonan kades 3 tahun yang lalu masih menumpuk. Belum lagi, cicilan motor yang belum kelar. Biaya sekolah Karmin dan Tiwi juga dipastikan terus naik. Katanya ada dana BOS, tapi tetap saja ada pungutan sekolah. Lalu, darimana semua kebutuhan itu bisa tercukupi. Sawah warisan sudah ludes. Sertifikat rumah saja masih tertahan di bank. Apa mungkin suaminya masih bisa membiayai pencalonannya nanti. Salimah menatap suaminya, yang masih sibuk mengolak-alik data warga. Diam-diam, Salimah mengagumi keteguhan suaminya. 30 tahun yang lalu, Kartidjo menyunting dirinya. Dengan bekal ijazah SPG-nya, Kartidjo berhasil meyakinkan ibu atau neneknya Karmin. “Saya sudah diterima bekerja sebagai guru honorer di desa Wanasuta, di bawah

Cerpen: Ironi Kartidjo (1)

Setengah mengeluh, Kartidjo tetap bekerja menghitung surat suara. Sebentar dilongoknya arsip dan berkas-berkas dari kabupaten. Satu persatu, tangannya yang mulai merenta, membolak-balik data nama pemilih. Kacamatanya yang berbingkai hitam tebal, menambah kesan ketuaan. “Ini kopinya, Pak!” Salimah menyodorkan segelas kopi pahit kesukaannya. “Taruh saja di situ, Bune !” Jawab Kartidjo tanpa menoleh. “Karmin ke mana, Bune ?” “Ada apa, Pak!” Karmin tiba-tiba menyahut dari balik pintu sambil menenteng sepatu bututnya. “Lho, sepatumu kok dicangking, le ?” “ Kecebur sawah, Pak. Tadi jalan di tegalan licin. Teruus...” “Ya, sudah. Banyak alasan. Nanti setelah kamu mandi, kamu pasang spanduk pilihan gubernur ini di balai desa!” kata Kartidjo. Mendengar permintaan bapaknya, Karmin hanya mengangguk. Karmin tahu, perintah bapaknya adalah harga mati, tak mungkin ditolak. Meskipun niat semula Karmin ingin bermain sepak bola di lapangan desa, tapi Karmin segera mengurungkan niatnya.