Cerpen: Ironi Kartidjo (3)

...

Setelah kekalahannya, Kartidjo kembali ber-“sekolah”. Teman-teman sejawatnya memakluminya, bila berhari-hari Kartidjo tidak berdinas. Ya, Kartidjo memang bukan lagi guru biasa. Sejak 10 tahun yang lalu, Kartidjo diangkat menjadi kepala sekolah. Itu diperolehnya setelah ia mendapatkan ijazah sarjana pendidikan di IKIP Semarang.
Dan, kini menjelang pilkades berikutnya, Kartidjo makin membulatkan tekad. Seperti hendak mempraktikkan ilmu politiknya dulu, Kartidjo pun mulai bergerilya. Hampir tiap malam, Kartidjo menyambangi warga. Pada saat pertemuan-pertemuan RW, Kartidjo juga hadir. Ia pun mengumbar jiwa sosialnya. “Bapak Ibu sekaliyan. Dengan keprihatinan mendalam dan dengan ketulusan hati, saya akan menanggung semua biaya pembangunan rumah Mbah Salim!”
Sambutan Kartidjo disambut meriah. Mbak Salim, yang sudah hidup sebatang kara, ikut tersenyum. “Terima kasih, mas Kartidjo, yang sudi berbaik hati membangun gubug reot saya. Gusti ora sare, nak Mas!” ucap Mbak Salim berbinar.
Kartidjo juga aktif mengikuti kegiatan olahraga bersama Karang Taruna. Bila selesai bermain sepak bola, Kartidjo memborong es dawet Mbok Marti lalu membagikannya kepada para pemain.
Ketenaran Kartidjo tersebar ke seluruh penjuru desa. Di warung Mbok Marti, terdengar khasak-khusuk. “Agh, itu hanya taktik Kartidjo saja untuk mendapat simpati kita!” Kata Bendot, seorang tukang becak. “Ya gakpapa to. Selama yang dilakukan mas Kartidjo itu baik dan tidak merugikan, kita patut mendukung!” Sahut Narwidi yang masih sepupu Kartidjo.
“Tau gak, sampeyan semua. Hutang Kartidjo pada saya yang masih 15 juta saja belum lunas, kok mau nyalon lagi!” Kata Bawor, juragan beras. “Huss. Hutang orang jangan diumbar, saru!” hardik Haji Abu.
**
Waktu terus berputar. Kartidjo pun naik ke pentas pemilu, sebagai calon kepala desa. Satu demi satu, warga desa memberikan hak pilihnya. Dengan berpakaian adat Jawa, Kartidjo bak seorang raja yang sedang bertahta, duduk dengan gagahnya. Senyum Kartidjo tak pernah surut menebar ke semua orang yang hadir. Kecuali Salimah. Tak ada Salimah di sana.
Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Ketua panitia mengumumkan hasil pilkades. “Hidup Kartidjo! Hidup Kartidjo!” teriak para pendukungnya. Namun, belum selesai penghitungan suara, tiba-tiba terdengar teriakan keras dari balik kerumunan warga.
“Hentikan, Pak!” Sebuah suara menghentak semua orang yang hadir, tak terkecuali Kartidjo.
“Bu Salimah?!” Warga yang berkerumun terkejut bukan kepalang, melihat Salimah menghunus pisau.
Bune?!” teriak Kartidjo, yang segera berlari turun dari panggung pemilihan. “Tenang, Bune. Tenang. Yang sabar. Nyebut. Nyebut!” Kartidjo bermaksud menenangkan istrinya.
“Kalau bapak masih nekad mencalonkan diri jadi kades, saya akan bunuh diri! Bapak gak tahu malu apa! Hutang kita masih banyak! Saya sudah lelah tiap hari ditagih orang!” teriak Salimah seperti kesurupan.
Beberapa hansip dan polisi yang sedang bertugas berusaha meringkus Salimah. Tapi gagal. Salimah bertambah garang.
“Iya Bune. Ya sudah. Sudah. Bapak membatalkan niat bapak jadi kades!” kata Kartidjo setenang mungkin. “Nah, bapak-bapak dan ibu-ibu warga desa Kalegok yang saya cintai. Dengan segala kerendahan hati dan permohonan maaf yang sebesar-besarnya, saya Kartidjo Dwijoprawiro mengundurkan diri dari pencalonan kepala desa, sekarang juga!”
Warga desa diam seribu bahasa. Bingung. Kaget. Tak percaya. Namun, tiba-tiba dari arah belakang, terdengar teriakan, “Hidup Kartidjo! Hidup Kartidjo!” Sambil mengepalkan tangan kanannya, Narwidi berteriak, yang diikuti oleh semua warga yang hadir.
Kartidjo pun segera membimbing Salimah istrinya, pulang. Dan kembali menjadi warga desa biasa, sampai matinya.


tamat

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beragam Itu Keren

MERAJUT PERTIWI (YANG TERKOYAK)