Cerpen: Ironi Kartidjo (2)
....
Salimah
terdiam. Sepenuhnya Salimah setuju dengan kata-kata suaminya. Terkadang,
kehormatan keluarga harus diletakkan dalam kedudukan atau jabatan. Setidaknya,
seluruh keturunan akan mengenangnya sebagai orang besar. Salimah bimbang.
Hutang karena kalah dalam pencalonan kades 3 tahun yang lalu masih menumpuk.
Belum lagi, cicilan motor yang belum kelar. Biaya sekolah Karmin dan Tiwi juga dipastikan
terus naik. Katanya ada dana BOS, tapi tetap saja ada pungutan sekolah. Lalu,
darimana semua kebutuhan itu bisa tercukupi.
Sawah
warisan sudah ludes. Sertifikat rumah saja masih tertahan di bank. Apa mungkin
suaminya masih bisa membiayai pencalonannya nanti. Salimah menatap suaminya,
yang masih sibuk mengolak-alik data warga. Diam-diam, Salimah mengagumi
keteguhan suaminya.
30
tahun yang lalu, Kartidjo menyunting dirinya. Dengan bekal ijazah SPG-nya,
Kartidjo berhasil meyakinkan ibu atau neneknya Karmin. “Saya sudah diterima
bekerja sebagai guru honorer di desa Wanasuta, di bawah kaki gunung Slamet.
Jadi, ibu tenang saja. Saya pasti akan membahagiakan Alimah,” kata Kartidjo
saat meminangku di depan ibu.
Memang
benar, segera setelah menikah, Kartidjo memboyongku ke Wanasuta. Mulai dengan
menjadi guru honorer, Kartidjo mengajar di SD negeri. Lima tahun berikutnya,
Kartidjo diangkat menjadi pegawai negeri. Kartidjo pun ditempatkan di desa
Kalegok, tempat di mana keluarga besarku tinggal. Entah kebetulan entah tidak,
tapi yang aku tahu, Kartidjo memang yang meminta untuk ditempatkan di daerah
asal. Agh ya, zaman dulu masih gampang. Tinggal datang ke kepala dinas dengan
membawa buah tangan. Tak lama kemudian SK mutasi pegawai negeri bisa turun.
Menjadi
istri pegawai negeri terhitung beruntung. Setiap bulan, kami mendapat jatah
beras dari bulog. Meski gaji kecil, tapi soal makan dan sandang, bisa dibilang
cukup. Kartidjo juga tak perlu repot beli seragam kantor. Lha wong, tiap tahun sudah dijatah bakal pakaian korpri. Hmm. Gagah
benar “oemar bakrie” ini saat memakai korpri, dengan setelan sepatu hitam yang
digosok dengan abu arang.
Dengan
sepeda jengki, Kartidjo menuju sekolah yang berjarak tujuh kilometer. “Ini
perjuangan, Bune. Suatu saat nanti,
nasib pegawai negeri mungkin akan lebih baik.” Begitu Kartidjo seringkali
menghibur diri.
Seiring
dengan perputaran roda zaman, Kartidjo mulai bisa mencicil sepeda motor second yang dibelinya dari pegawai
dinas. Sedikit demi sedikit, rumah yang layak huni bisa dibangun. Setidaknya
berdinding tembok, meski hanya setengah meter tingginya. Sisanya tetap
menggunakan anyaman bambu atau gedheg.
Adalah
kemajuan yang tak dinyana, saat Kartidjo mulai aktif berpolitik. Hampir setiap
malam, ia melawat ke rumah-rumah warga. Dengan alasan berkunjung atau
silaturahmi, ia, yang memang mahir berbicara, menyusupkan doktrin-doktrin
kepartaian. “Tidak ada pilihan, Bu!” Kartidjo mengatakannya berulang-ulang.
“Kita ini hanya manut yang berkuasa.
Kalau tidak ya berarti kita tidak makan to, Bu.” Kartidjo menegaskan.
Di
lain waktu, Kartidjo lantang berorasi saat menjadi jurkam. Sesekali penonton
pun berteriak mengikuti teriakan Kartidjo. “Hidup Kunyit..! Hidup Kunyit..!
Hidup Kunyit..!” Warga kompak meneriakkan nama partai, lalu membahanakan yel
yel sambil mengacung-acungkan dua jarinya tinggi. Selepas berorasi, Kartidjo
pun melepaskan rompinya lalu melemparkan ke tengah-tengah penonton. Maka, riuh
rendah penonton makin bergemuruh saat muncul para biduan di atas panggung.
Hiburan rakyat, dimulai.
“Tapi
zaman sudah berobah, Pak! Bapak tak mungkin lagi bisa kayak dulu!” Demikian
Salimah dulu, setiap kali mengingatkan saat Kartidjo mencalonkan diri sebagai
kades. Mungkin ada benarnya kata Salimah. Buktinya, Kartidjo tidak terpilih
menjadi kades, meskipun hanya selisih puluhan suara dari kades terpilih. Kalah
tetap kalah, bukan.
..... to be continued
Komentar
Posting Komentar