ROBOHNYA PANGGUNG KARYO

Sebuah Cerpen

Bagi Karyo, pantang berdebat dengan Salmah, istrinya. Apalagi perihal remeh temeh menyangkut urusan dapur. Bukan karena tak sepaham. Tetapi, bagi Karyo, Salmah lebih paham urusan belakang. Namun, tentang satu hal ini, Karyo merasa perlu tak bisa lagi berdiam diri.  
“Sudahlah. Bune tidak usah cawe-cawe! Semuanya sudah diatur!”
“Diatur bagaimana pak. Hutang kita masih banyak! Lha kalau bapak nyalon kades lagi, terus hutang-hutang itu mau dibayar pake apa: Pasir?! Daun?!” sahut Salmah kesal.
Bune percaya saja sama bapak-bapak di atas. Mereka yang urus semua.”
“Aku cuma percaya pada Gusti Allah, pak!”
“Bukan begitu, bu. Pengalaman pahit pilihan kades periode yang lalu, membuat bapak belajar. Sekarang bapak harus bisa lobi anu, pejabat ini, pejabat itu, termasuk para tokoh masyarakat, mulai dari tetua desa, para ulama, kelompok-kelompok pengajian dan lain-lain. Termasuk, yang tidak kalah penting adalah mohon doa restu mbah Larik, yang bisa back up bapak secara spiritual dari lawan-lawan politik.”
Salmah menahan diri untuk berkomentar.
“Kalau niat kita luhur mulia, Gusti pasti bantu!” jawab Karyo bersikukuh.
“Aku percaya, Pak. Tapi ya kalau kita sendiri gak sadar diri, itu namanya ngoyo, memaksa diri. Bayaran sekolah anak-anak saja masih sering nunggak.” Salmah masih mencecar tanpa bermaksud menyudutkan.
“Itikad bapak jauh lebih penting, Bune!” jawab Karyo setengah menaikkan nada bicaranya. “Selama ini kita tahu, belum ada kepala desa yang becus ngurus desa Kalegok sini. Semuanya mandeg di tengah jalan. Kalau begini caranya, kapan desa kita ini, maju Bune!” Karyo meninggikan suaranya.
“Iya, Pak. Aku tahu. Pendidikan bapak tinggi. Bapak juga pinter. Tapi, mbokya o bapak sadar, warga desa tidak semuanya setuju kalau bapak jadi kades. Mereka penginnya bapak jadi ketua RT saja,” sahut Salmah.

... .selengkapnya dapat dibaca DI SINI

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beragam Itu Keren

MERAJUT PERTIWI (YANG TERKOYAK)