Bu Tejo (dan Kita)

Menilai sebuah film, memberi pendapat tentangnya, apakah itu tema, tokoh, setting, maupun musiknya adalah kebebasan hermeneutik penontonnya. Orang bisa berdebat, berbeda pendapat. Bahkan para sineas pun tidak pernah memaksa pemahaman para penontonnya dengan satu tafsir. 

Begitu pun dengan pendapat yang menganggap sebuah film atau tontonan yang sejatinya hiburan akan menjadi "tidak menghibur" lagi jika ditafsir dengan kajian-kajian serius. Ya. Silakan saja. Tokh sejatinya sebuah tontonan pasti dibuat dengan tujuan tertentu. Bahkan untuk sekadar "iseng" juga sudah merupakan tujuan.

Nah, ada satu film yang sedang viral belakangan, karena temanya yang sangat dekat dengan kita. Tentang pergunjingan dan menggunjingkan; bukankah itu candu yang memabukkan? Yang dengan bebas, saya komentari dengan penafsiran versi saya sendiri. Dan, Anda pun bebas untuk menafsirkannya ataupun tidak.

salah satu tangkapan layar di film "Tilik"


Berikut tulisan saya di kompasiana dengan judul: "Bu Tejo dan Kita".

Sosok Bu Tejo dalam film pendek berdurasi 32 menit 34 detik ini tiba-tiba menyeruak dunia maya. Dan, begitulah hukumnya; sekali meledak di udara, maka gemanya akan viral secepat kilatan flash kamera.

Film yang digarap tahun 2018, sekaligus peraih Winner Piala Maya 2018 (Film Pendek Terpilih) dan masuk dalam Official Selection World Cinema Amsterdam 2019 ini mendadak tenar, seiring dengan naluri jagad maya yang serba ingin tahu. Adalah Dian, seorang kembang desa, yang menjadi sentra obrolan ibu-ibu di atas truk saat "tilik" (menjenguk) Bu Lurah di Rumah Sakit.

Awalnya juga "gak ngeh" kenapa jagad twitter menyebut-nyebut nama Bu Tejo. Apakah dia "the next president?" sangkaku. Tapi, telusur demi telusur sembari mengobati rasa penasaran, sampai pulalah akhirnya menonton film pendek "Tilik" garapan Wahyu Agung Prasetyo.

Sejatinya, tokoh Bu Tejo, yang sengaja ditampilkan dominan, tak lain adalah wajah kita sendiri. Membicarakan orang lain dan mendengarkan ceritanya adalah sebuah naluri. Dan, Bu Tejo masuk dalam kategori bernaluri di atas rata-rata.

Terlepas dari gunjingan Bu Tejo and the gengs yang bikin gemas itu, sepatutnya kita bersyukur pada Bu Tejo. Ibaratnya bercermin, saat kita menonton bahasa bibirnya ditambah dengan intonasi mencibirnya yang khas, kita pun sedang melakukannya. 

Mencibir sesuatu yang ganjil, dengan bahan beraneka ragam yang tersebar di sekitar. Mulai dari urusan dapur, kasur, hingga ngelantur ke hal-hal umum yang dianggap ngawur.

Sosiolog Bruce J. Cohen menyebut perilaku Bu Tejo sebagai bentuk kontrol sosial. Pengendalian sosial menjadi satu cara yang mendorong seseorang berperilaku selaras dengan kehendak kelompok atau masyarakat tertentu.

Namun, bergosip lebih cenderung beraroma negatif; karena menggunjingkan sesuatu yang belum pasti kebenarannya. Karena itu, gosip perlu diverifikasi dengan bukti-bukti. Jika tidak, maka gosip akan menjadi hoax semata, menjadi fitnah, dan bisa berdampak hukum.

Pada akhirnya, pendapat Bruce J. Cohen terjawab di scene akhir film: "Dadi wong ki sing solutif ngono lhoo!"


Salam


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beragam Itu Keren

MERAJUT PERTIWI (YANG TERKOYAK)