BUONGIORNO, SANTRI

sumber gbr: https://cdn.medcom.id/


Dengan bangganya, seorang kawan bercerita kalau anaknya masuk pesantren. Satu harapannya, kelak setelah lulus dan terjun ke masyarakat, sang anak bertumbuh menjadi pribadi yang bertaqwa pada Tuhannya, bangsa, negara, dan orangtua.

Tapi apa daya, pupuslah harapan itu. Di akhir tahun kedua nyantriknya, sang anak dikeluarkan dari pesantren, karena dinilai berperilaku tidak jujur. Kawan saya termenung, tapi kemudian menerimanya dengan ikhlas.


Resolusi Jihad

Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dicetuskan K.H. M. Hasyim Asy'ari menegaskan dua hal, yaitu agar Pemerintah Republik Indonesia “bersikap” melawan Belanda dan kaki tangannya, dan meminta (umat Islam) melanjutkan perjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia. Sejak itulah, semangat melawan penjajah berkobar-kobar, bahkan rela mati demi kemerdekaan Republik Indonesia. 

Kepeloporan para ulama dalam mewujudkan rasa cinta tanah air merupakan bukti keislaman yang mendalam, sekaligus menunjukkan komitmen kebangsaan yang tinggi. Demikian pula sebagaimana dicontohkan KH. Ahmad Dahlan dan Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto melalui organisasi-organisasi Islam.

Dengan kata lain, penghayatan keislaman dan sekaligus kebangsaan adalah satu tarikan nafas, dan bukan untuk saling dipertentangkan. Begitulah para tokoh Islam telah sedemikian hebatnya berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, dan memobilisasi massa untuk terus bergerak memajukan peradaban.

Seperjalanan zaman, para santri yang hidup mondok di pesantren dipersepsikan dengan kekolotan. Namun, anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Banyak tokoh bangsa justru lahir dari tradisi pesantren ini, seperti halnya Gus Dur dan K.H. Ma’ruf Amin. 

Dengan pemikiran-pemikiran yang melampaui zaman, Gus Dur mampu membuat terobosan-terobosan fundamental yang bermanfaat bagi bangsa ini. Demikian pun K.H. Ma’ruf Amin, dalam sambutannya di hari Santri 22 Oktober 2018 lalu pernah berpesan bahwa para santri tidak hanya mampu membaca Al’Quran dan Kitab Kuning, tetapi juga harus belajar ilmu ekonomi, kebudayaan, dan digital”.


Agen Perubahan

Sejatinya, peran santri bagi bangsa ini tidak bisa dipisahkan dari pola asuh dan pola didik selama di pesantren. Karena itu, mendulang harapan dari para santri bukan hanya sekadar retorika, melainkan sungguh-sungguh harapan, agar para santri mampu menjadi agen perubahan untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas. Karenanya, menimba ilmu sebanyak-banyaknya, belajar tiada henti, dan terus mengaktualisasikan diri dalam beragam kesempatan adalah cara berjihad sederhana saat di pesantren.

Seperti pepatah nemo dat quod non habet di mana tak seorang pun (bisa) memberi apa yang ia sendiri tidak punya. Maka, pesantren menjadi tempat untuk mencukupkan bekal sebelum terjun ke masyarakat, sekaligus menyusun strategi terbaik dalam mengelola kapasitas dan kecakapan.

Maka, kiranya penting untuk mengijinkan para santri untuk terus melibatkan diri dalam dinamika kebangsaan Indonesia, dengan menjadi agen-agen perubahan yang menggelora.

Pertama, pembawa damai. Para santri tidak hanya dituntut mahir mengolah ilmu-ilmu keagamaan, tetapi ilmu kehidupan. Berbagai latihan dan simulasi manajemen konflik bisa menjadi acuan bagaimana para santri tampil di tengah masyarakat sebagai pembawa damai. 

Kita membutuhkan kehadiran sosok penengah, di tengah beragam perbedaan yang berpotensi menjadi konflik horisontal. Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa perbedaan adalah sebuah kesalahan, maka harus diluruskan dalam satu paham. 

Keberagaman latar belakang asal dan karakter para santri ketika mondok bisa menjadi laboratorium yang tepat membentuk pribadi yang menghargai keberagaman. 

Tentu saja, tugas mulia itu tidak mudah, tetapi bisa dilakukan dengan sepenuh hati. Menjadi pembawa damai membutuhkan keberanian untuk menyatakan yang benar sebagai benar, dan yang salah adalah salah.

Kedua, berpikir kritis. Para santri harus muncul sebagai inisiator. Ia tidak larut dalam arus zaman ini. Ia mampu menciptakan atau menyampaikan gagasan-gasan terobosan dari berbagai kebuntuan yang terjadi di masyarakat. Melalui diskursus dan beragam media untuk bertukar pikiran serta udar gagasan, ketajaman berpikir santri menjadi terasah.

Demikianlah seharusnya, para santri bukan hanya pantas diperingati kelahirannya secara nasional, tetapi dari dirinya sendiri bertumbuh semangat untuk menjadi agen perubahan, di mana pun ia berada.

Maka, maklumlah apa yang menimpa anak kawan saya yang harus “berhenti” sekolah di pesantren. Sebab, para santri bukan hanya dituntut cakap dalam ilmu keagamaan, tetapi memiliki pribadi dengan berbagai keutamaan, seperti jujur, berani, dan bertanggung jawab.

Buongiorno, Santri. Selamat Pagi, Santri. Selamat berjuang!


Depok, 22 Oktober 2021

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beragam Itu Keren

MERAJUT PERTIWI (YANG TERKOYAK)