NOTO ATI

 Aseem. Metua Njul, Panjul!” (Keluar kamu Panjul). 

Pagi yang sejuk tetiba riuh oleh gelegar suara Gudel yang berteriak-teriak di depan rumah Panjul. Laki-laki dengan perawakan tubuh yang gempal menambah bobot aura premanisme. Seolah-olah, hanya dia yang punya kuasa atas dunia ini. 

“Panjuuulll….!”

Yang empunya nama masih belum tampak batang hidungnya. Dilihat dari kontur rumah yang berdinding bambu, seharusnya Panjul mendengar teriakan Gudel dengan jelas.

Tiga menit berlalu. Gudel mulai gelisah. Wajahnya semakin garang. Dihunusnya gobed (senjata tajam mirip bendo) dari werangkanya. 

“Njul. Aja pura-pura budheg. Aku itung tekan telu. Kalau kamu gak keluar, omahmu tek bakar temenan kiye!”

Rumah Panjul masih tetap sunyi. Tapi, lampu teplok tampak menyala. Padahal, biasanya Panjul selalu mematikan lampu tepat waktu. Entah. Belum ada satu pun tanda-tanda kalau Panjul berada di dalam rumah. 

Waktu terus berputar. 

“Siji… Loro…! Njuuuul…!” Suara Gudel semakin meninggi. Gudel memastikan lagi agar Panjul segera keluar. Tampaknya Gudel juga paham. Membakar rumah orang bisa kena pidana. Risikonya: penjara. Tapi terlanjur basah. Amarahnya benar-benar memuncak. 

Panjul, sebenarnya bukan orang lain bagi Gudel. Mereka malah teman sekelas waktu SD. Tapi, nasib menentukan keduanya harus berbeda haluan. Panjul memilih tetap tinggal di kampung dan bertani. Sekali waktu, ia membantu warga di kampungnya dengan memberi penyuluhan pertanian. Meski tak berpangkat atau jabatan di antara pengurus kampung, Panjul dipercaya warga untuk menangani berbagai persoalan. 

Selain cekatan, Panjul juga tidak menghitung tenaga dan biaya. Kata Panjul suatu ketika, “Saya ini hanyalah penyalur rahmat, atau talang kebaikan dari Yang Maha Kuasa.  Karena itu, Panjul tak pernah mau disangoni (dibayar) setelah memberi penyuluhan.

“Teeee..…!”

Suara Gudel tiba-tiba terhenti. Tenggorokannya seperti tercekat oleh seutas tali yang mengikat lehernya. Sesak nafas. Serasa mau mati saja. Namun, belum selesai Gudel menyebut angkat tiga, terdengar suara dari arah belakang Gudel.

“Ngapa, Del?” Suaranya tenang, tak menampakan kepanikan atau kehebohan. Setengah bingung, Gudel segera menoleh ke belakang, memastikan bahwa suara yang didengarnya adalah benar-benar Panjul.

“Asuuu..ko, Njul. Dari kemarin tak cari, jebul malah ndhelik nang mburine bojomu. Mrene maju angger wani karo aku!” Dengan senjata terhunus dan ditodongkan ke arah Panjul, amarah Gudel makin meninggi. Matanya jalang seperti sedang kesurupan. Sementara, Panjul tetap tegak berdiri di tempatnya, tak bergeming sedikit pun.  

“Del. Del. Elinga. Aku kiye sapa!” (Ingatlah. Saya itu siapa). Kita ini ibarat magnet, kadang berbenturan kadang lengket tak terpisahkan. Tidur satu kamar, satu kasur. “Aku kanca sakringkelanmu, Del.” 

“Ora peduli…!” teriak Gudel semakin meledak. “Gara-gara kamu, aku gagal budhal mergawe nang Arab Saudi (aku gagal berangkat ke Arab Saudi). Pahaaamm ora?”

Panjul mengernyitkan dahi. “Apa? Gara-gara nyong? Ketemu pirang perkara kok bisa-bisanya aku sing mbok tuduh?”


… . bersambung….




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beragam Itu Keren

MERAJUT PERTIWI (YANG TERKOYAK)